Tabir
Singapura, 3000 kaki
Dalam detik yang berdetak cepat, jemariku tenggelam dalam genggaman. Getaran yang diciptaan menjalar hingga ke jantung yang berdegup makin kencang meski mata pura-pura terpejam. Apakah kita saat itu adalah kebetulan dari-Nya? Ketika batas kasat mata itu tiada, menyisakan aku dan engkau terjepit di antara keinginan (kita?) untuk saling memiliki sekali lagi.
Jakarta, ketika sejuta lampu menyala
Dari sudut mata, kurasakan tatapanmu yang menajam, seolah bertanya apakah kamu merasakan hal yang sama? Apakah getaran itu terasa? Bahwa Jakarta, betapapun semrawutnya, adalah Jakarta kita, ucapmu. Ujung mataku mengangguk, menahan inginku menatap sekaligus menciummu.
Jalanan, menuju sebuah perpisahan penuh keengganan
Tanpa menafikan, bahwa keraguan itu bersemayam dalam lubuk kita, menjadi batas tipis yang tak bisa kita mengerti. Seperti genggaman tanganmu, erat lalu mengendur dan erat lagi (terus begitu hingga kita masing-masing terpejam, walau sebenarnya kita berdua tidak tidur, hanya saling menutup mata).
Dan beribu tanya berkelebat sejak saat itu dalam kepalaku
Apakah keraguanmu?
Komentar
Posting Komentar