Sore favorit

Pada suatu sore yang biasa

Di ujung hari minggu, kebanyakan orang terburu-buru menghabiskan sisa akhir pekan, menikmatinya dengan ketergesaan, sebab dalam hitungan jam harus kembali kepada rutinitas pekerjaan. 

Atau, ada juga yang di ujung minggunya menciptakan senin prematur, mencicil pekerjaan (atau menyelesaikan pekerjaan) atas nama tanggung jawab (atau agar tidak dipecat). 

Aku baru selesai mandi, setelah sebelumnya pergi berbelanja, mencuci dan memasak. Tiga kegiatan yang sudah sangat lama tidak aku lakukan. Pekerjaan domestik yang ternyata ngangenin. 

Hidup di kota besar dengan segala ketergesaannya, membuat ritme hidup menjadi tinggi. Tuntutan untuk selalu cepat, kadang membuat kita luput akan hal sederhana. Misal, duduk di teras rumah, menyeduh teh sambil melihat tetangga membersihkan halaman rumahnya, atau seperti yang sedang aku lakukan. Membaca buku (yang sudah sebulan belum selesai) sambil selonjoran menikmati cemilan dan minum teh kemasan. Waktu berjalan pelan, bahkan aku bisa menyadari udara yang keluar masuk dari lubang hidung. Perut buncitku yang naik turun, dan anak rambut yang bergoyang terkena angin dari kipas. 

Bukan, bukan karena aku tidak ada tanggung pekerjaan atau bukan karena aku tidak punya agenda berkegiatan. Tapi aku sedang menciptakan jeda. Sebuah istirahat khususnya untuk hidup. Sebab bukan hanya tubuh yang butuh diistirahatkan, tapi diri kita secara total, lahir dan batin juga perlu diistirahatkan, dikembalikan kepada posisi netral, bukan gigi satu, gigi tiga, atau bahkan gigi lima. Karena sebelum masuk ke gigi satu, sebelum memulai sebuah pergerakan, kita harus memulainya dari posisi kosong, posisi netral. 

Peduli setan dengan membuang-buang waktu atau investasi waktu. Produktivitas tanpa kebahagiaan hanya akan menciptakan mesin. Dan kebahagiaan tidak mungkin didapatkan tanpa kenikmatan, dan kenikmatan tidak pernah ada pada ketergesaan.



Komentar