Catatan Kumal dalam Ransel Lusuh
Perjalanan; sebuah bentuk pelarian
atau pencarian?
Reza
mengecek kembali barang-barangnya yang berserak di atas kasur, beberapa lembar
pakaian, kamera, buku, ponsel, dan obat-obatan serta alat mandi siap dimasukkan
ke dalam tas ransel miliknya. Tak
ketinggalan satu toples kecil kopi hasil sangrainya dan cangkir enamel
kesayangan siap diangkut.
Stasiun
Jatinegara tak pernah lelah menampung manusia, selalu ramai oleh sumringah
penumpang yang lega telah sampai dan lelah penumpang yang perjalanannya baru
akan dimulai. Reza menyeruput kopi paginya sembari menunggu commuterline tujuan Stasiun Senen
datang. Matanya mengikuti gerak arus manusia yang terburu-buru, menyeret-nyeret
semangat dan harapan agar kuat berdesakkan dalam kehidupan. Kuharap mereka tak tersesat ke tujuan, dan
tahu dimana pulang gumamnya pelan sambil bersiap menuju commuterline-nya yang telah datang.
Stasiun
Senen menyambut Reza dengan basah, gerimis kecil turun mengucapkan selamat
datang dan selamat jalan. Buru-buru ia masuk ke dalam stasiun dan mencetak
tiket lalu naik ke dalam kereta yang lima belas menit lagi membawanya ‘pulang’.
Perjalanan
dengan kereta ekonomi memang sudah lebih manusiawi tapi terkesan lebih
sendiri-sendiri. Persinggungan antar manusianya hanya sekedar basa-basi, walau
satu dua masih bisa ditemui sisa-sisa suasana kereta ekonomi lama. Reza masih
ingat kali pertama ia menggunakan kereta ekonomi dengan jendela kecil di bagian
atas yang terbuka, sebagai pintu masuk angin dan makanan yang dijaja di luar
kereta. Ia duduk bersama dua orang teman yang akan naik ke Gunung Semeru dan
sepasang suami istri renta dengan dua kardus indomie di bawah kursi. Mereka tak
pernah bertukar nama, langsung kepada pertanyaan turun dimana, mau kemana lalu
tiba-tiba saja jadi perbincangan yang mesra. Pasangan suami istri itu baru saja
menengok cucu pertama mereka di Jakarta. Mereka akan pulang ke Solo. Suami
istri itu lalu bercerita tentang perjalanan hidup mereka tanpa segan dan Reza
serta dua temannya mendengarkan tanpa sungkan. Kehangatan yang mengalir
apa-adanya, lebih hangat dari nasi rames yang mereka beli di Stasiun Cirebon
menjelang malam. Dan Reza merindukan kehangatan itu pagi ini. Sebab kereka
ekonomi yang makin nyaman membawa juga jarak antar penumpang.
Reza
selalu memesan kursi di samping jendela, tempatnya merasa sedikit ‘lega’ dari
himpitan kesibukan masing-masing penumpang dengan telepon genggam. Matanya
kerap lelah melihat wajah-wajah menunduk maupun tertutup benda persegi panjang
sepanjang jalan. Menatap ke luar jendela mampu membawanya jauh ke masa silam
ketika kisah kehidupan di ceritakan secara rela dalam gerbong-gerbong penuh
sesak.
Reza
mengeluarkan buku catatan perjalanan
kumalnya, membaca beberapa halaman yang terbuka acak. Kerinduannya kepada
perjalanan beserta isinya membuatnya menerawang jauh. Betapa ‘rumah’ sudah
berubah. Perjalanan jadi jarang membawa makna, pejalan berjalan tanpa tujuan
akan perubahan. Hanya sebuah bentuk pelarian dari kejenuhan rutinitas. Reza
menerawang lagi, tatapannya menembus jauh ke balik jendela.
Kediri, 6 Juni 2016
Puasa pertama di kota orang.
Bertemu orang asing yang dalam waktu sejam berubah menjadi teman, sejam
kemudian menjadi sahabat dan sejam selanjutnya menjadi saudara. Menyiapkan takjil
berbuka untuk anak yatim, tarawih bersama lalu belajar bersama dengan
bocah-bocah yang putus sekolah. Meski terbata-bata mengeja kata dalam Bahasa
Inggris yang kuajarkan, mereka tak gentar. Bahkan ada yang minta diajari nyanyi
pakai Bahasa Inggris. Katanya agar kalau ngamen bisa dapat uang lebih. Kemana
saja kau, Reza. Berilmu tapi tak bermanfaat.
Reza
memejam, membuka memori puasa dua tahun lalu, sebuah kado untuk ulang tahun ke
27 dirinya, sebuah pengabdian kecil di salah satu taman baca di Kediri. Taman bacaan
yang didirikan oleh orang-orang tulus untuk menjadi ‘rumah’ bagi mereka yang
kehilangan atau sedang mencari. Ia malu. Gelar sarjananya tak mampu memberikan
apa-apa selain kebanggaan pada dirinya sendiri.
Reza
menarik nafas dalam…
Inilah ‘rumah’
gumam Reza pelan. Ia tersenyum lalu memasukkan buku catatan kumalnya ke dalam ransel lusuh dan memeluknya erat…
Komentar
Posting Komentar