75 B3

Tujuh puluh lima ribu perak.
Itu yang tertera di tiket, sengaja rupiahnya diganti dengan perak, biar terkesan murah. Karena memang murah, sangat murah, bahkan amat sangat murah bagiku. Jika dibandingkan dengan apa yang kudapat, apa yang kualami, dan apa yang kurasai. Kereta api telah mendekatkanku padamu, sebuah kehidupan sederhana dari balik jendela kaca setengah dada yang berada di pinggiran kota.
Kali.
Sawah.
Sengkedan.
Rumah bilik.
Menyiang rumput.
Jemuran dari bambu.
Melihat kereta bersama ayah.
Mencuci di sungai yang kering.
Mencari kutu di depan pintu rumah.
Itulah kehidupan yang dulu sempat terbayang.
Sederhana.
Apa adanya.
Bersinergi dengan semesta.
Berinteraksi dengan sesama.
Hidup bahagia yang bersahaja.
Di tengah hijaunya  pepohonan.
Juga di atas tanah yang kecokelatan.
Ini yang kusebut keajaiban.
Sesaat berderai air mata bersama lagu duka di pinggi jendela. Saat luka itu makin terasa justru membuatku makin perkasa dan bahagia. Mungkin ini yang disebut "luka itu bahagia yang berbeda". Meski masih dengan lagu balada yang menggaung di telinga, toh sudah tak ada lagi air mata.
Dan menyadarkanku akan sesuatu. Menulis bukanlah karena terluka. Menulis karena dada tak mampu lagi menahan gemuruh rasa.
Sedih.
Bahagia.
Luka.
Dan cinta.
Tak ada luka untuk menjadikan kita bisa menulis.
Tak ada bahagia untuk membuat kita mau menulis.
Tapi karena hati ingin berbicara kepada mereka yang setia mendengarkan apa adanya.
Yah, ini pernyataan. Kontradiktif? Biarkan. Bukankah kita hidup di dalam dunia yang penuh ironi dan perdebatan?
Jadi, jalani saja sendiri-sendiri selama tak saling membuat rugi.
Selamat pagi.
Bisnis 1,
'Best I ever had'
Bandung-Jakarta

Komentar