Ibunda Guru

Satu hari yang cerah, pagi itu dihalaman sekolah. Bersama hangat matahari dan langit biru, ada hati yang beku

"Bu guru, aku mau nanya"
"Bertanyalah"
"Soal PR semalam, aku tidak mengerti"
"Jika kau tidak mengerti,lantas mengapa kau jawab?" Sambil ditunjukkannya buku tulis murid itu.
" . . ."
"Jawablah, jika kau bisa menjawab persoalan itu, maka kau harus tau dari mana asal jawabmu. Bukan bisa pulpen itu bergerak sendiri"
"Aku pun bingung ibunda. Aku hanya menjawab berdasar apa yang terlintas dalam akalku"
"Maka akalmu sependek ini" Sambil diacungkannya sebatang tusuk gigi.
"Aku ingin kembali dijelaskan, bunda guru"
"Tidakkah soalannya sudah jelas? Yang harus kau jawab hanya mengapa dan akan bagaimana seterusnya"
"Ibunda tidak mencintaiku? Itukah sejujur tulus hati, atau hanya kesalmu padaku?"
"Sebenar-benar hatiku, itulah apa adanya"
"Mungkin adakah penghalang yang membuat perasaan itu ada, ibunda?"
Sang guru menggeleng mantap. Mereka saling diam. Diam yang sunyi seirama kicau burung pagi itu.
"Baiklah ibunda, seandainya ada yang memberatkan hati dalam hal apapun, katakanlah"
"Sudah kukatakan, dalam semua soalanmu kemarin. Terangkum semua sebab musababnya, baik untuk masa kemarin, saat ini atau selanjutnya" . Lalu mereka kembali saling terdiam. Ada kekesalan yang membatu dalam hati sang guru. Tiada kesedihan atau perasaan salah karena mematahkan hati muridnya itu. Kesal yang membatu sebab ketidaktahuan atau kebodohan atau juga kesengajaan muridnya yang satu ini. Ia diam. Terus diam
"Ibunda kenapa diam? Apakah hal yang ibunda pikir selalu ini? Yang sebabkan diamnya ibunda". Sang guru tak menjawab, kesalnya memuncak,maka sebuah pertanyaan lagi akan memuntahkan segala batu yang ia pendam.

Lalu mereka diam. .




-mengenang kepergian seribu huruf-

Komentar